Pindah Kerja
Bagi banyak orang memulai atau
berpindah dari kondisi yang sudah biasa atau istilah kerennya ‘nyaman’ ke
keadaan yang ‘kurang/tidak nyaman’ menjadi momok yang cukup menakutkan dan
akhirnya tetap tidak mau berpindah atau berubah ke kondisi baru.
Lalu bagaimana sebaiknya menghadapi
kondisi ketidaknyamanan tersebut, apalagi yang mendadak?
Ada pertanyaan yang cukup menarik
seperti berikut ini :
“Saya ingin menanyakan masalah yang
cukup besar ini. Baru-baru ini saya telah melakukan kesalahan, yang menurut
saya cukup besar. Saya diminta pindah ke Jakarta karena pekerjaan-pekerjaan
saya dipusatkan di sana.
Tetapi karena saya menolak dan ingin tetap
berada di Surabaya, akhirnya porsi pekerjaan saya diturunkan sesuai dengan apa
yang ada di Surabaya. Tetapi besarnya gaji tidak dikurangi.
Saya merasa tidak enak. Pertama, karena dibayar tetap tapi kok porsi pekerjaan dikurangi. Kedua, karir saya akan mentok. Kira-kira apa anjuran untuk kondisi semacam ini. Apakah saya harus memaksakan diri untuk ke Jakarta?
Selama ini kendalanya masalah keluarga. Atau ada cara-cara lain untuk menghilangkan rasa semangat yang menurun dengan porsi pekerjaan yang berkurang ini?”
Dari pertanyaan itu ada kata yang
penting sekali, yaitu "memaksakan pindah". Jadi kalau tidak harus,
maka tidak akan pindah. Berarti di dalam keluarga Anda ada budaya penolakan
terhadap terjadinya perubahan.
Padahal dalam kehidupan modern,
anak-anak sekalipun harus terbiasa dengan budaya "mengepak koper malam
kemudian membongkarnya besok pagi dan tidur di tempat lain". Karena di
dalam kehidupan modern, kemampuan semacam itu harus ada.
Sementara di dalam kehidupan
tradisional apabila tidak melihat langit-langit yang sama maka tidak bisa
tidur. Atau tidak mencium bau bantalnya sendiri, tidak bisa tidur. Jadi
kehidupan tradisional itu secara spesifik diatur oleh kebiasaan.
Nah, Anda berusaha masuk ke dalam kehidupan yang lebih modern istilahnya kosmopolitan. Kalau ini terjadi sekarang, maka hal yang sama akan terjadi lagi di masa mendatang di mana pun anda membangun karir.
Begitu ada suatu peningkatan yang membutuhkan perubahan kebiasaan, pasti Anda atau keluarga Anda akan melakukan penolakan. Itu yang pertama.
Perubahan itu perlu, kadang-kadang muncul tidak seperti yang kita duga. Misalnya anak-anak sudah bersekolah dan mempunyai teman di sini, nanti kalau pindah ke Jakarta bagaimana dan saya sendiri bagaimana?
Padahal semua perubahan sendiri menjanjikan peningkatan yang lebih mudah. Jadi dari situ kalau bisa diminta kembali kesempatan itu maka ambil saja.
Kemudian masalah demotivasi. Tadinya Anda menghindari suatu perubahan yang akan membuat tidak enak. Tetapi justru pada orang-orang yang sudah harus berubah, menolak suatu perubahan akan disiksa sendiri oleh perasaan itu sendiri.
Jadi, sebetulnya tidak akan merasakan hal ini sekarang kalau perubahan itu diterima. Pertanyaannya adalah,"Lha wong enak-enak di Jawa Timur kok disuruh pindah ke Jakarta."
Karena perubahan yang menjanjikan perbaikan peningkatan sudah ditolak, Anda harus merasakan tidak enaknya tidak berubah. Itu ibaratnya dua sisi dari sebuah koin.
Kemudian muncul pertanyaan kenapa perubahan ini betul-betul mendadak keharusannya dan kenapa perasaan demotivasi saya ini demikian kuatnya?
Hal itu karena sebetulnya keharusan untuk berubah itu sudah lama Anda tahan. Keharusan untuk meningkat, keharusan untuk memperbaharui keadaan itu ditahan lama dan baru putus sekarang.
Bagaimana caranya untuk meminta
kembali kesempatan itu?
Pakai pendekatan pribadi dulu, jangan
dipikirkan mengenai gagalnya. Masalah kegagalan untuk meminta kembali
kesempatan tersebut, itu masalah nanti.
Dengan demikian, yang perlu dipikirkan
sekarang adalah bagaimana melakukan pendekatan pribadi untuk menyampaikan
secara terbuka.
Katakan kepada atasan Anda,
"Maaf, adalah suatu kesalahan bagi saya tidak menerima tawaran yang lebih
penting atau lebih berkontribusi bagi perusahaan ini".
Baca juga : Profesionalisme dan Karir
***
Comments
Post a Comment