Orang yang emotionally intelligent, tidak secara otomatis intelligent dalam bidang-bidang lain
Pilihan sikap dan
tindakan yang dihasilkan oleh kecerdasan emosi yang baik - akan menghasilkan
sikap dan tindakan yang baik untuk merespon sebuah keadaan - baik itu
pujian, masalah, tantangan, atau kritik.
Yang masih harus kita
ingat, adalah bahwa kita disebut bijaksana - bukan karena hasil dari
keputusan dan tindakan kita hanya tepat untuk pribadi kita - tetapi juga
merupakan solusi terbaik bagi orang lain yang terkait, untuk masa yang lebih
panjang.
Nah, kata penting-nya
adalah 'solusi'.
Tidak semua orang
yang emotionally intelligent - memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk
memutuskan sikap dan tindakan yang sesuai dengan semua bidang kerja, untuk
semua jenis budaya organisasi, atau untuk semua jenjang posisi
kepemimpinan.
Sehingga, orang yang
emotionally intelligent - akan tetap tidak berdaya dan bisa mengambil pilihan
keputusan yang salah - bila dia tidak memiliki kompetensi yang sesuai dengan
tuntutan atas ketepatan dan kualitas keputusannya.
Saya harap Ibu Ursula
dan Ibu Yudi sependapat, bahwa menjadi emotionally intelligent adalah langkah
awal untuk menjadi bijaksana, karena keduanya tidak bisa dipisahkan; yang juga
berarti bahwa yang emotionally intelligent akan sulit menjadi bijaksana - bila
ia tidak melengkapi dirinya dengan kualitas-kualitas yang menjadi prasyarat
bagi ketepatan keputusan.
Sulit kita
temukan orang yang bisa disebut bijaksana - bagaimana pun cerdas-nya dia
dalam mengelola emosinya, bila dia tidak kompeten dalam hal yang diputuskannya.
Jadi, dia yang
bijaksana - bisa kita anggap telah menerapkan kecerdasan emosinya dengan baik
dalam proses-proses kepemimpinan pribadi atau organisasinya; sedangkan dia yang
emotionally intelligent - walau pun itu awal dari proses pembentukan
kebijaksanaan - belum tentu bijaksana.
Baca juga : Pikiran
***
Comments
Post a Comment